A. Proses pembentukan Batubara
Secara umum telah diterima
bahwa batubara berasal dari tumbuhan. Tumbuhan yang tumbang atau mati pada
umumnya akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna,
sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut, pada
dasarnya merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh aktivitas bakteri dan
jasad renik lainnya.
Akan tetapi apabila suatu tumbuhan atau pohon yang sudah
mati kemudian jatuh di daerah yang berair seperti rawa, sungai, atau danau,
maka tumbuhan tersebut tidak akan mengalami pembusukan secara sempurna, karena
pada kedalaman tertentu bakteri tidak lagi bisa menguraikan tumbuhan tersebut
baik bakteri aerob (membutuhkan
oksigen) maupun bakteri anaerob
(tidak membutuhkan oksigen). Akibatnya
sisa tumbuhan tersebut akan terus mengendap membentuk suatu sediment fossil
tumbuhan yang selanjutnya mengalami perubahan fisik dan biokimia serta
dipengaruhi oleh waktu, tekanan, dan temperature, sehingga membentuk suatu
sedimen atau batuan organik yang sekarang disebut Batubara
Proses pembentukan batubara dari tumbuhan mengalami dua
tahap, yaitu : tahap pembentukan gambut (peatification)
dan tahap pembatubaraan (coalification)
:
1. Tahap Pembentukan Gambut (peatification)
Jika
tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi proses biokimia yang secara
vertikal dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu zona permukaan yang umumnya
perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zona tengah sampai kedalaman
0,5 m yang disebut dengan peatigenic layer (Teichmuller, 1982). Pada
zona peatigenic terdapat bakteri aerob,
lumut, dan actinomyces yang aktif.
Bakteri aerob akan menyebabkan
oksidasi biologi pada komponen-komponen tumbuhan yang material utamanya adalah cellulose.
Senyawa-senyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah
menjadi glikose dengan cara hidrolisis:
C6H10O5 + H2O Þ C6H12O6
(cellulose) (glukose)
Jika
suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada penguraian
lengkap dari senyawa organik, yaitu:
C6H10O5 + 6 O2 Þ 6 CO2 + 5 H2O
Bagian-bagian
dari material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid dan umumnya disebut
dengan asam humus (humic acid). Lemak
dan material resin umumnya hanya
mengalami perubahan sedikit.
Apabila
kandungan oksigen air rawa sangat rendah dan dengan bertambahnya kedalaman,
sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses
pembusukan dan penghancuran yang sempurna, dengan kata lain tidak terjadi
proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan
proses pembusukan yang kemudian membentuk gambut (peat).
Prosesnya
adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob akan mati dan diganti dengan bakteri anaerob sampai kedalaman 10 m, dimana kehidupan bakteri makin
berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia, terutama kondensasi primer, polymerisasi, dan reaksi reduksi. Pada bakteri anaerob akan mengkonsumsi oksigen dari substansi
organik dan mengubahnya menjadi produk bituminous
yang kaya hidrogen, selanjutnya dengan tidak tersedianya oksigen, maka hidrogen
dan karbon akan menjadi H2O,
CH4, CO, dan CO2.
Apabila
ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai pertambahan
kandungan karbon relatif cepat sesuai kedalamannya sampai peatigenic layer,
yakni 45-50% sampai 55-60%. Lebih dalam lagi, pertambahan kandungan karbon
mencapai 64%. Kandungan karbon yang tinggi pada peatigenic layer disebabkan karena pada lapisan tersebut kaya
substansi yang mengandung oksigen, terutama cellulose
dan humicellulose yang diubah secara mikrobiologi.
Dari
keseluruhan proses, maka pembentukan substansi humus merupakan proses penting
yang tidak tergantung pada fasies dan tidak semata-mata pada kedalaman. Oleh
karena itu, faktor yang mempengaruhi proses humifikasi
dimana bakteri dapat beraktivitas dengan baik adalah kondisi lingkungan berikut
ini:
1. Keasaman air, yaitu pada
pH 7,0-7,5.
2.
Kedalaman,
yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m untuk bakteri aerob, sedangkan untuk bakteri anaerob
bisa sampai kedalaman 10 m.
3. Suplay oksigen, akan
menurun mengikuti kedalaman.
4. Temperatur lingkungan, pada suhu yang hangat
akan mendukung kehidupan bakteri.
Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984), menyebutkan bahwa pada rumpun tumbuhan
yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang sama, maka potensial redox (Eh) memegang peranan penting untuk aktifitas
bakteri dan penggambutan. Ketersediaan oksigen menentukan apakah proses
penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini transformasi organik dalam
kaitannya dengan ketersediaan oksigen, dimana salah satu dari empat proses
biokimia di bawah ini akan terjadi pada tumbuhan yang telah mati, yaitu:
1.
Bahan
tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan merapuh (desintegration), menghasilkan zat terbang, terutama CO2,
metan, dan air. Umumnya menghasilkan sisa yang tidak padat. Beberapa unsur
utama tumbuhan akan lebih tahan pada tipe ubahan ini, misal resin (getah) dan
lilin.
2. Proses humifikasi
atau pembusukan, yaitu bahan tumbuhan akan berubah menjadi humus akibat oleh
terbatasnya oksigen dari atmosfir dan tingginya kandungan air lembab. Batubara
yang dihasilkan berupa humic coal.
3. Proses
penggambutan (peatification), yaitu
keadaan muka air tinggi di atas lapisan yang terakumulasi dapat mencegah
terjadinya oksidasi, akibatnya pada lingkungan yang reduksi dan adanya bakteri
anaerob, jaringan-jaringan tumbuhan menjadi hancur, kemudian terakumulasi dan
menjadi gambut, selanjutnya akan menghasilkan humic coal.
4.
Putrefaction
(permentasi) yaitu penguraian
hancuran tanaman akuatik (terutama
algae), bahan hanyutan, dan plankton dalam lingkungan reduksi pada kondisi air
diam (stagnant), hasilnya membentuk sapropel, sedangkan batubara yang
dihasilkan adalah batubara sapropelik.
Ciri umum gambut adalah sebagai berikut:
1. Berwarna
kecoklatan sampai hitam.
2. Kandungan
air > 75% (pada brown coal < 75%)
3.
Kandungan
karbon umumnya < 60% (pada brown coal > 60%).
4.
Masih
memperlihatkan struktur tumbuhan asal, terdapat cellulose (pada brown
coal cellulose tidak hadir).
5.
Dapat
dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak dapat dipotong).
6. Bersifat porous, bila diperas dengan tangan, keluar airnya.
Berdasarkan ciri di atas
adalah tidak mudah secara pasti membedakan antara peat dan brown coal,
apalagi proses perubahannya berlangsung secara bertahap.
2 . Tahap pembatubaraan (coalification)
Menurut Stach (1982) tahap geokimia atau tahap pembatubaraan
disebut sebagai tahap fisika-kimia (physicochemical
stage), yaitu tahap perubahan dari gambut menjadi batubara secara
bertingkat (brown coal, sub-bituminous
coal, bituminous coal, semi anthracite, anthracite, meta-anthracite) yang
disebabkan oleh peningkatan temperatur dan tekanan.
Prosesnya, jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh
lapisan sedimen, maka akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut,
tekanan akan meningkat dengan bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah akan mengakibatkan
peningkatan temperatur. Disamping itu, temperatur juga akan meningkat dengan
bertambahnya kedalaman yang disebut gradien
geotermal. Kenaikan temperatur dan tekanan juga disebabkan oleh aktivitas
magma dan aktivitas tektonik lainnya. Peningkatan tekanan dan temperatur pada
lapisan gambut akan mengkonversi gambut menjadi batubara dimana terjadi proses
pengurangan kandungan air, pelepasan gas-gas (H2O, CH4,
CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan kekerasan, serta peningkatan
kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta waktu merupakan faktor-faktor yang
menentukan “kualitas” batubara.
Pada tahap ini terjadi
perubahan rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu seri menerus dengan
prosentase karbon makin meningkat dan prosentase oksigen serta hidrogen makin
berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk, seperti kenaikan
reflektansi maseral batubara seiring dengan naiknya derajat proses
kimia-fisika.
Perubahan-perubahan
fisika-kimia yang berlangsung secara bertahap dapat dijelaskan sebagai berikut,
dan singkatnya dapat dilihat pada gambar 3.1.
Tahap pertama adalah
pembentukan peat, proses berlangsung
terus sampai membentuk endapan, di bawah kondisi asam menguapnya H2O,
CH4, dan sedikit CO2 membentuk C65H4O30
yang dalam kondisi dry basis besarnya
analisa pada ultimate adalah karbon
61,7%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 38,0%.
Tahap kedua adalah
tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat rendah dengan susunan
C79H55O141 yang pada kondisi dry basis adalah karbon 80,4%, hidrogen
0,3%, dan oksigen 19,1%.
Tahap ketiga adalah
peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai tingkat medium dan
kemudian sampai batubara bituminous
tingkat tinggi. Pada tahap ini
kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom oksigen
tertinggal di molekul.
Tahap keempat, kandungan hidrogen berkurang,
sedangkan kandungan oksigen menurun lebih lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil
sampingan tahap tiga dan empat adalah CH4, CO2, dan
sedikit H2O.
Tahap kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen tetap
dan kandungan hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap sebelumnya.
Gambar . Tahap
Pembentukan Batubara
Ket: Setelah menjadi peat dan bertambahnya beban, tekanan, temperature, dan waktu dengan
proses yang sangat lama sehingga terbentuklah batubara.
B. Teori Pembentukan Batubara
Pada dasarnya semua teori
setuju bahwa batubara berasal dari fosil tumbuhan. Namun demikian ada beberapa
teori yang menerangkan bagaimana proses terjadinya batubara tersebut
Untuk memahami bagaimana
proses terbentuknya batubara dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui dimana
batubara tersebut terbentuk dan faktor apa saja yang mempengaruhinya.
Adapun dua teori yang terkenal mengenai
terbentuknya batubara yaitu :
1.
Teori Insitu
Teori ini
menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuk di tempat
dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Setelah tanaman mati, belum mengalami
proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalifikasi. Jenis Batubara yang
terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya
lebih baik karena kadar abunya relatif sedikit. Batubara yang seperti ini di
Indonesia didapatkan di lapangan batubara Muara Enim Sumatera Selatan.
2. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk
lapisan batubara terjadi ditempat yang berbeda dengan tempat tanaman semula
tumbuh dan berkembang. Dengan demikian tanaman-tanaman yang telah mati diangkut
oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat tertutup oleh batuan sedimen
dan mengalami proses coalifikasi.
Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas,
tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak
mengandung material pengotor (impuriyties)
yang terangkat bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman
ketempat sedimentasi. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia di
dapatkan di lapangan batubara di Kalimantan Timur, yaitu di daerah Delta
Mahakam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar