Geologist

Selasa, 24 Juni 2014

Proses dan Teori Pembentukan Batubara

A. Proses pembentukan Batubara
Secara umum telah diterima bahwa batubara berasal dari tumbuhan. Tumbuhan yang tumbang atau mati pada umumnya akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna, sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut, pada dasarnya merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh aktivitas bakteri dan jasad renik lainnya.
Akan tetapi apabila suatu tumbuhan atau pohon yang sudah mati kemudian jatuh di daerah yang berair seperti rawa, sungai, atau danau, maka tumbuhan tersebut tidak akan mengalami pembusukan secara sempurna, karena pada kedalaman tertentu bakteri tidak lagi bisa menguraikan tumbuhan tersebut baik bakteri aerob (membutuhkan oksigen) maupun bakteri anaerob (tidak membutuhkan oksigen).  Akibatnya sisa tumbuhan tersebut akan terus mengendap membentuk suatu sediment fossil tumbuhan yang selanjutnya mengalami perubahan fisik dan biokimia serta dipengaruhi oleh waktu, tekanan, dan temperature, sehingga membentuk suatu sedimen atau batuan organik yang sekarang disebut Batubara

Proses pembentukan batubara dari tumbuhan mengalami dua tahap, yaitu : tahap pembentukan gambut (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification) :
1.      Tahap Pembentukan Gambut (peatification)
Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi proses biokimia yang secara vertikal dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu zona permukaan yang umumnya perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zona tengah sampai kedalaman 0,5 m yang disebut dengan peatigenic layer (Teichmuller, 1982). Pada zona peatigenic terdapat bakteri aerob, lumut, dan actinomyces yang aktif. Bakteri aerob akan menyebabkan oksidasi biologi pada komponen-komponen tumbuhan yang material utamanya adalah cellulose. Senyawa-senyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah menjadi glikose dengan cara hidrolisis:

C6H10O5 + H2O  Þ  C6H12O6

(cellulose)                 (glukose)                                                 
Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada penguraian lengkap dari senyawa organik, yaitu:

C6H10O5 + 6 O2  Þ  6 CO2 + 5 H2O

Bagian-bagian dari material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid dan umumnya disebut dengan asam humus (humic acid). Lemak dan material resin umumnya hanya mengalami perubahan sedikit.
Apabila kandungan oksigen air rawa sangat rendah dan dengan bertambahnya kedalaman, sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna, dengan kata lain tidak terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses pembusukan yang kemudian membentuk gambut (peat).
Prosesnya adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob akan mati dan diganti dengan bakteri anaerob sampai kedalaman 10 m, dimana kehidupan bakteri makin berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia, terutama kondensasi primer, polymerisasi, dan reaksi reduksi. Pada bakteri anaerob akan mengkonsumsi oksigen dari substansi organik dan mengubahnya menjadi produk bituminous yang kaya hidrogen, selanjutnya dengan tidak tersedianya oksigen, maka hidrogen dan karbon akan menjadi  H2O, CH4, CO, dan CO2.
Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai pertambahan kandungan karbon relatif cepat sesuai kedalamannya sampai peatigenic layer, yakni 45-50% sampai 55-60%. Lebih dalam lagi, pertambahan kandungan karbon mencapai 64%. Kandungan karbon yang tinggi pada peatigenic layer disebabkan karena pada lapisan tersebut kaya substansi yang mengandung oksigen, terutama cellulose dan humicellulose yang diubah secara mikrobiologi.
Dari keseluruhan proses, maka pembentukan substansi humus merupakan proses penting yang tidak tergantung pada fasies dan tidak semata-mata pada kedalaman. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi proses humifikasi dimana bakteri dapat beraktivitas dengan baik adalah kondisi lingkungan berikut ini:
1.      Keasaman air, yaitu pada pH 7,0-7,5.
2.      Kedalaman, yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m untuk bakteri aerob, sedangkan untuk bakteri anaerob bisa sampai kedalaman 10 m.
3.      Suplay oksigen, akan menurun mengikuti kedalaman.
4.   Temperatur lingkungan, pada suhu yang hangat akan mendukung kehidupan bakteri.
Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984), menyebutkan bahwa pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang sama, maka potensial redox (Eh) memegang peranan penting untuk aktifitas bakteri dan penggambutan. Ketersediaan oksigen menentukan apakah proses penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini transformasi organik dalam kaitannya dengan ketersediaan oksigen, dimana salah satu dari empat proses biokimia di bawah ini akan terjadi pada tumbuhan yang telah mati, yaitu:
1.      Bahan tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan merapuh (desintegration), menghasilkan zat terbang, terutama CO2, metan, dan air. Umumnya menghasilkan sisa yang tidak padat. Beberapa unsur utama tumbuhan akan lebih tahan pada tipe ubahan ini, misal resin (getah) dan lilin.
2.      Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan tumbuhan akan berubah menjadi humus akibat oleh terbatasnya oksigen dari atmosfir dan tingginya kandungan air lembab. Batubara yang dihasilkan berupa humic coal.
3.      Proses penggambutan (peatification), yaitu keadaan muka air tinggi di atas lapisan yang terakumulasi dapat mencegah terjadinya oksidasi, akibatnya pada lingkungan yang reduksi dan adanya bakteri anaerob, jaringan-jaringan tumbuhan menjadi hancur, kemudian terakumulasi dan menjadi gambut, selanjutnya akan menghasilkan humic coal.
4.      Putrefaction (permentasi) yaitu penguraian hancuran tanaman akuatik (terutama algae), bahan hanyutan, dan plankton dalam lingkungan reduksi pada kondisi air diam (stagnant), hasilnya membentuk sapropel, sedangkan batubara yang dihasilkan adalah batubara sapropelik.  
Ciri umum gambut adalah sebagai berikut:
1.      Berwarna kecoklatan sampai hitam.
2.      Kandungan air > 75% (pada brown coal < 75%)
3.      Kandungan karbon umumnya < 60% (pada brown coal > 60%).
4.      Masih memperlihatkan struktur tumbuhan asal, terdapat cellulose (pada brown coal cellulose tidak hadir).
5.      Dapat dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak dapat dipotong).
6.      Bersifat porous, bila diperas dengan tangan, keluar airnya.
Berdasarkan ciri di atas adalah tidak mudah secara pasti membedakan antara peat dan brown coal, apalagi proses perubahannya berlangsung secara bertahap.

2 .  Tahap pembatubaraan (coalification)
Menurut Stach (1982) tahap geokimia atau tahap pembatubaraan disebut sebagai tahap fisika-kimia (physicochemical stage), yaitu tahap perubahan dari gambut menjadi batubara secara bertingkat (brown coal, sub-bituminous coal, bituminous coal, semi anthracite, anthracite, meta-anthracite) yang disebabkan oleh peningkatan temperatur dan tekanan.
Prosesnya, jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut, tekanan akan meningkat dengan bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah akan mengakibatkan peningkatan temperatur. Disamping itu, temperatur juga akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman yang disebut gradien geotermal. Kenaikan temperatur dan tekanan juga disebabkan oleh aktivitas magma dan aktivitas tektonik lainnya. Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengkonversi gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air, pelepasan gas-gas (H2O, CH4, CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan kekerasan, serta peningkatan kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta waktu merupakan faktor-faktor yang menentukan “kualitas” batubara.
Pada tahap ini terjadi perubahan rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu seri menerus dengan prosentase karbon makin meningkat dan prosentase oksigen serta hidrogen makin berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk, seperti kenaikan reflektansi maseral batubara seiring dengan naiknya derajat proses kimia-fisika.
Perubahan-perubahan fisika-kimia yang berlangsung secara bertahap dapat dijelaskan sebagai berikut, dan singkatnya dapat dilihat pada gambar 3.1.
Tahap pertama adalah pembentukan peat, proses berlangsung terus sampai membentuk endapan, di bawah kondisi asam menguapnya H2O, CH4, dan sedikit CO2 membentuk C65H4O30 yang dalam kondisi dry basis besarnya analisa pada ultimate adalah karbon 61,7%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 38,0%.
Tahap kedua adalah tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat rendah dengan susunan C79H55O141 yang pada kondisi dry basis adalah karbon 80,4%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 19,1%.
Tahap ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai tingkat medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat tinggi. Pada tahap ini kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom oksigen tertinggal di molekul.
Tahap keempat, kandungan hidrogen berkurang, sedangkan kandungan oksigen menurun lebih lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil sampingan tahap tiga dan empat adalah CH4, CO2, dan sedikit H2O.
Tahap kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen tetap dan kandungan hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap sebelumnya.
Gambar . Tahap Pembentukan Batubara
Ket: Setelah menjadi peat dan bertambahnya beban, tekanan, temperature, dan waktu dengan proses yang sangat lama sehingga terbentuklah batubara.


B. Teori Pembentukan Batubara
Pada dasarnya semua teori setuju bahwa batubara berasal dari fosil tumbuhan. Namun demikian ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana proses terjadinya batubara tersebut
Untuk memahami bagaimana proses terbentuknya batubara dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui dimana batubara tersebut terbentuk dan faktor apa saja yang mempengaruhinya.
Adapun dua teori yang terkenal mengenai terbentuknya batubara yaitu :
1.      Teori Insitu
Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuk di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Setelah tanaman mati, belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalifikasi. Jenis Batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif sedikit. Batubara yang seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara Muara Enim Sumatera Selatan.
2.   Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadi ditempat yang berbeda dengan tempat tanaman semula tumbuh dan berkembang. Dengan demikian tanaman-tanaman yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses coalifikasi. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor (impuriyties) yang terangkat bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ketempat sedimentasi. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia di dapatkan di lapangan batubara di Kalimantan Timur, yaitu di daerah Delta Mahakam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar