Geologist

Kamis, 26 Juni 2014

Faktor Faktor Pembentuk Batubara

Faktor Faktor Pembentuk Batubara


Schlatter’s (1973), menyebutkan bahwa pembentukan batubara merupakan proses yang kompleks yang harus dipelajari dari banyak segi, karena ada bermacam-macam proses yang berbeda satu dengan lainnya yang mempengaruhi pembentukan batubara, baik derajat maupun jenis batubaranya pada suatu cekungan.
1. Posisi geotektonik (geotectonic position)
Di dalam genesa cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan faktor yang umum, dominan, dan memegang peranan penting. Posisi geotektonik mempengaruhi iklim, morfologi cekungan, kecepatan sedimentasi, kecepatan penurunan dasar cekungan, jenis flora, dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jenis batubara (coal type), derajat batubara (coal rank), dan geometri lapisan batubara yang terbentuk .
Pada daerah bertektonik kuat, penurunan cekungan akan berjalan cepat selama pengendapan berlangsung. Akibatnya akan berpengaruh terhadap perbedaan petrografi dan geometri lapisan batubara serta menambah kontaminasi mineral, seperti sulfida, klorit, dan karbonat.
Cekungan batubara dapat terbentuk diberbagai posisi dari suatu tatanan tektonik. Batubara di Sumatera Selatan terjadi di cekungan belakang busur pada lingkungan yang sebagian besar berair payau, sedangkan batubara Ombilin terjadi di cekungan intra-montane pada lingkungan air tawar. Batubara di Bengkulu terjadi cekungan muka busur di lingkungan delta. Batubara di Kalimantan Timur pada  delta yang progradasi, seperti di Delta Mahakam.
2. Topografi purba (paleotopografi)
Morfologi cekungan mempunyai arti penting di dalam menentukan penyebaran rawa-rawa tempat batubara terbentuk. Pada daerah pantai datar dan tidak berbukit merupakan lingkungan yang baik untuk pembentukan batubara, demikian juga di daerah cekungan benua, tetapi jumlahnya terbatas. Pada dataran stabil, erosi akan mempengaruhi ukuran dan bentuk lakustrin, asal dan luas pengaliran, aliran air, dan permukaan airtanah. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pembentukan batubara.
3. Posisi geografi (geographical position)
Posisi geografi berpengaruh terhadap iklim, khususnya temperatur. Pada daerah tropik dan subtropik, tumbuhan dapat tumbuh subur dibanding di daerah sedang, di daerah kutub tidak baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Pembentukan batubara akan baik pada rawa-rawa paralik yang tingginya sama dengan permukaan air laut.
Menurut Teichimuller (dalam Stach, 1975), lingkungan pembentukan endapan gambut dipengaruhi oleh:
Kenaikan muka air tanah lambat atau penurunan dasar cekungan lambat, sehingga endapan gambut terhindar dari abrasi air laut.
Adanya beting pantai, gosong pasir, atau tanggul alam yang menghalangi rawa-rawa dari abrasi air laut, sehingga dapat mempertahankan endapan gambut dari banjir sungai dan abrasi laut.
Relief daratan yang rendah, sehingga pengendapan material fluviatil berbutir halus akan menutupi endapan gambut yang terbentuk terlebih dahulu.
Berdasarkan posisi geografinya, terjadinya endapan batubara dapat di lingkungan daratan (limnic) dan pantai laut (parallic). Pada prinsipnya pembentukan endapan gambut memerlukan kondisi pemukaan airtanah yang konstan sepanjang tahun, sehingga endapan organik dari tumbuhan yang mati segera terdekomposisi. Kondisi demikian tergantung posisi geografinya, di samping iklim dan biasanya dijumpai di daerah tepi pantai dimana air laut membendung air yang datang dari daratan. Juga pada rawa-rawa dekat pantai. Untuk gambut di daratan dapat pada garis tepi danau atau rawa yang besar.
4. Iklim (climate)
Gambut berasal dari tumbuhan, sedangkan perkembangan tumbuhan dipengaruhi oleh iklim, lebih khusus lagi adalah kelembaban. Pada daerah beriklim tropik dan subtropik yang bertemperatur tinggi, umumnya sesuai untuk pertumbuhan tumbuhan dibandingkan daerah beriklim dingin. Di samping itu, suhu yang lebih panas tidak hanya mempercepat pertumbuhan tumbuhan, tetapi juga mempercepat pembusukan.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan setiap 7-9 tahun dan tumbuhan mencapai tinggi sekitar 30 m, sementara di iklim dingin atau sedang untuk waktu yang sama pertumbuhannya hanya mencapai ketinggian 5-6 m. Daerah iklim sedang miskin bahan makanan, sehingga didominasi oleh lumut, sedangkan daerah tropik didominasi pohon.
Pada Karbon Akhir atau Tersier Awal, umumnya gambut terbentuk di iklim tropis dan basah. Meskipun demikian, di belahan bumi selatan dan Siberia dijumpai batubara yang terbentuk di iklim sedang dan basah, bahkan di iklim dingin seperti batubara Gondwana (Permo-Karbon) dengan tumbuhan utama Gangamopteris, Glossopteris, Cycadophyta, dan Conifers.
Lapisan batubara yang terbentuk di lingkungan iklim tropis basah umumnya tebal dan cemerlang (bright coal), sebaliknya di iklim sedang atau dingin terdiri dari sedikit batubara cemerlang. Meskipun demikian, selama pembentukan batubara tidak selalu iklimnya tetap, seperti di belahan bumi selatan terdapat batubara tebal diselingi lapisan yang tidak mengandung batubara. Kondisi ini ditafsirkan sebagai masa yang kering dengan ciri sedimen berkadar garam tinggi dan diperkirakan suhunya lebih dingin dibanding suhu sekarang.
5. Tumbuhan (flora)
Tumbuhan merupakan unsur utama pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel pengisi tumbuhan hidup yang merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari air dan albumin kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau nutrient bagi bakteri penyebab pembusukan.
Selaput sel terutama terdiri dari cellulose, merupakan karbohidrat yang tahan terhadap perubahan kimiawi, tetapi dapat dengan mudah ditelan oleh mikro-organisme. Di alam, cellulose bersama-sama dengan sederet unsur lain seperti hemicellulose, pectins, lemak, dan lignin. Tiga yang pertama tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, sehingga kurang penting dalam pembentukan batubara. Lignin diperlukan dalam perubahan bentuk tumbuhan, selalu terjalin secara submikroskopis dengan cellulose dan merupakan bahan dasar jaringan kayu, walau terdapat pula dalam daun. Resin dan lilin juga dihasilkan oleh tumbuhan, biasanya termasuk hidrokarbon polimer tinggi dengan oksigen dan belerang dalam jumlah kecil. Keduanya sangat tahan terhadap pembusukan.
Pemunculan tumbuhan tidak terlepas dari evolusi kehidupan yang menghasilkan kondisi berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai Paleozoik-Devonian, tumbuhan tidak tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah lagunal yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan tumbuhan secara besar-besaran dalam kurun waktu yang singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama Karbon, pada Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tumbuhan.
6. Pembusukan (decomposition)
Pembusukan tumbuhan adalah proses peruraian unsur yang merupakan bagian transformasi biokimia dari bahan organik tumbuhan. Setelah tumbuhan mati, maka yang berperan adalah proses degradasi biokimia. Prosesnya adalah pembusukan oleh kerja bakteri dan jamur, terutama di daerah yang bertemperatur hangat dan lembab daripada di daerah kering dan bertemperatur dingin. Bakteri bekerja pada lingkungan tanpa oksigen, mula-mula menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti cellulose, protoplasma, dan pati. Dalam suasana kekurangan oksigen akan berakibat keluarnya air dan sebagian unsur karbon dalam bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metan. Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut, maka jumlah relatif unsur karbon akan bertambah. Dari proses ini akan terjadi perubahan dari kayu menjadi gambut. 
Kecepatan pembentukan gambut bergantung pada kecepatan pertumbuhan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan yang mati tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terjadi proses penguraian oleh bakteri. Sebaliknya apabila tumbuhan yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang, karena hanya bagian yang keras saja yang tertinggal, sehingga menyulitkan penguraian oleh bakteri.
Pembusukan umumnya berjalan lebih cepat pada kondisi lingkungan yang selalu berganti, yaitu dari reduksi ke oksidasi dan seterusnya. Kadar pembusukan akan berpengaruh terhadap batubara yang akan terbentuk.
7. Penurunan dasar cekungan (subsidence)
Penurunan cekungan merupakan hal penting, yaitu jika penurunan dan akumulasi tumbuhan berjalan seimbang, maka akan menghasilkan endapan batubara tebal.  Pergantian transgresi dan regresi juga akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan dan pengendapannya, juga menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang akan mempengaruhi komposisi batubara.
Kecepatan penurunan yang lebih cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan akan mengakibatkan air menggenangi rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga kehidupan tumbuhan terganggu. Jika penurunan lebih lambat dari kecepatan akumulasi tumbuhan, maka akan menyebabkan akumulasi tumbuhan di permukaan, Akibatnya permukaan airtanah akan turun dan tumbuhan membusuk oleh udara.                     
8. Waktu geologi (geological age)
Waktu geologi menentukan berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada jaman Karbon dijumpai endapan batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut perkembangan tumbuhan mencapai puncaknya.
Waktu geologi juga dapat meningkatkan derajat batubara, karena makin tua umur endapan batubara, maka besar kemungkinannya tertimbun lebih dalam dan lebih tebal oleh endapan sedimen dibandingkan yang berumur muda. Meskipun demikian, pada batubara yang lebih tua selalu ada resiko mengalami deformasi tektonik dan pengaruh erosi, sehingga dapat mengganggu atau mengurangi endapan batubara yang ada.
Perkecualian dapat terjadi, sekalipun endapan batubara berumur tua, belum tentu akan tertimbun oleh sedimen yang lebih tebal atau mempunyai peringkat yang lebih tinggi. Bahkan adanya terobosan batuan beku dapat membuat endapan batubara muda mencapai peringkat yang tinggi, misalnya endapan semi antrasit yang berumur Mio-Pliosen di Suban, Tanjung Enim dan berumur Miosen Tengah di Bukit Sunur, Bengkulu.
9. Sejarah setelah pengendapan (post-depositional history)
Sejarah cekungan batubara sangat tergantung pada posisi geotektoniknya, karena posisi geotektonik mempengaruhi perkembangan cekungan batubara dan berpengaruh pada tebalnya lapisan penutup yang pada akhirnya menentukan proses kecepatan metamorfose organik dan bertanggungjawab terhadap struktur cekungan batubara, lipatan, sesar, atau terobosan batuan beku. Secara singkat dapat berpengaruh terhadap aspek geometri lapisan batubara dan kualitas batubara. 
10. Metamorfosa organik (organic metamorphism)
Perubahan fisik dan kimia dari organisme secara berangsur menjadi bentuk lain yang susunannya lebih kompleks, umumnya pada kondisi tanpa oksigen. Prosesnya dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan biokimia dan perubahan geokimia.
Proses biokimia yaitu perubahan dari tumbuhan mati menjadi gambut dan proses geokimia yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara. Pada proses geokimia, kenaikan suhu memegang peranan penting, yaitu berkurangnya unsur hidrogen dan oksigen yang diikuti oleh meningkatnya unsur karbon, sehingga derajat batubara makin meningkat. Kenaikan suhu ini terutama disebabkan oleh tebalnya batuan yang menindihnya atau adanya terobosan magma batuan beku.
Metamorfosa organik dipengaruhi oleh proses yang bekerja setelah pengendapan, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh posisi geotektonik, kecepatan penurunan cekungan, dan waktu geologi.

2 komentar: